Jumat, 12 Juni 2015

Amalan Kebanggaan Suami


Amal yang Paling Kuharapkan Pahalanya
“Famâ syai’un arjâ ‘indî min hifzhî ‘alaihâ mâ kâna fî qalbihâ min jihatî.” Abu Utsman.

Dalam hidup berumah tangga, kira-kira amal apakah yang paling diharapkan pahalanya? Bagi seorang istri, tentu jawabannya adalah baktinya kepada suami dan upayanya untuk meminta keridhaan suami –setelah taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena suami menjadi pintu surga baginya. Dan bagi suami? Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada Abu Utsman, lalu ia menjawab bahwa amal yang paling ia harapkan pahalanya ialah kesabarannya selama 15 tahun dalam menjaga perasaan istrinya, agar tidak tersakiti. Karena di sebagian waktunya, Abu Utsman hidup bersandingkan istrinya ini ibarat hidup di atas bara, karena istrinya buta, pincang dan buruk rupa.

Kisah suami istri ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah (4/104), Ibnu Khalkan dalam Wafiyâtul A’yân (2/370) dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wan Nihâyah (11/130). Berikut ini adalah kisah Abu Utsman:

Muhammad bin Nu’aim Adh-Dhibbi, ia berkata, “Aku pernah mendengar ibuku bercerita, ‘Aku mendengar Maryam, istri Abu Utsman –yang lain- berkata, ‘Secara kebetulan, aku bisa bertemu dengan Abu Utsman yang sedang sendirian, lalu aku mengambil kesempatan itu untuk bertanya, “Yâ Abâ Utsmân, ayyu ‘amalika arjâ ‘indaka..., wahai Abu Utsman, amalan apakah yang paling kamu harapkan pahalanya di sisimu?”

Abu Utsman menjawab, “Wahai Maryam, ketika sudah dewasa, aku berada di daerah ray, penduduk di sana menginginkan agar aku menikah, tetapi aku menolak pinta mereka. Lalu ada seorang perempuan yang datang dan berkata, “Duhai Abu Utsman, sungguh aku mencintamu sebenar cinta hingga cintaku melenyapkan tidur dan ketenanganku. Aku memohon kepadamu dengan Dzat yang Maha membolak-balikkan hati, dan aku meletakkan kepercayaan kepadamu dengan nama-Nya agar kamu bersedia menikahiku.”

Lalu aku bertanya, “Apakah kamu punya ayah?”

“Ya, namanya fulan, seorang tukang jahit di tempat ini dan ini.”

Kemudian dia berkirim surat kepada ayahnya untuk menikahkan dirinya denganku. Ayahnya bahagia dengan rencana pernikahan tersebut, dan beberapa saksi didatangkan, lalu aku menikahinya.

Ketika aku pergi menemuinya, ternyata wanita tersebut buta, pincang dan buruk rupa.
Lalu aku berkata, “Allâhumma lakal hamdu ‘alâ mâ qaddartahu lî..., ya Allah segala puji bagi-Mu atas apa yang Engkau takdirkan untukku.”

Setelah itu, keluargaku mencela dan menyalah-nyalahkanku. Tetapi aku tetap bertambah baik dan memuliakannya, hingga sampai tahap dia tidak membiarkanku keluar dari sisinya. Sehingga aku meninggalkan berbagai majlis ilmu, karena lebih mengutamakan keridhaannya dan menjaga perasaannya. Aku hidup dalam kondisi seperti itu selama 15 tahun lamanya. Di sebagian waktuku, aku serasa hidup berada di atas bara. Namun sama sekali aku tidak menampakkan raut wajah tidak suka kepadanya, sampai dia meninggal dunia.”

Kemudian Abu Utsman melanjutkan, “Famâ syai’un arjâ ‘indî min hifzhî ‘alaihâ mâ kâna fî qalbihâ min jihatî...., tidak ada amalan yang lebih aku harapkan pahalanya selain aku menjaga perasaannya.”

Subhanallah !  semoga Abu Utsman mendapatkan limpahan pahala atas kesabarannya dalam menjaga perasaan istrinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Supported By:

Supported By:
warungkoski.com
Diberdayakan oleh Blogger.