Selasa, 26 Juli 2016

Seri 8 : Keluargaku... (2)

Rumah yang dikontrak ayahku tidak terlalu besar, bangunannya juga masih sangat sederhana. Di bagian atas dipasang seng sebagai atapnya, namun karena tidak dipasang asbes di dalam rumah, jika panas terik, maka seisi rumah rasanya seperti di dalam oven, panas. Tembok rumahnya juga masih dari kayu sebagiannya, sedang lantainya tidak dipasangi keramik. Walau demikian, rumah kontrakan ini punya dua kamar tidur, ruang tamu sekaligus ruang makan, juga dapur dan kamar mandi. Tetapi karena rumah kontrakan ini berjejer 4 rumah, maka setiap 2 rumah sumurnya hanya ada 1. Di depan rumah kontrakan ada perkebunan ubi kayu yang cukup luas, katanya sih milik yang punya rumah kontrakan kami ini, sedangkan di belakangnya ada beberapa petak sawah yang ditanami padi dengan sangat rapi.

Tetangga sebelah juga kesannya cuek dan kurang peduli dengan sekitarnya, buktinya semenjak aku datang belum ada satu pun tetangga yang menyapa dan ngajak ngobrol.

"Mungkin karena hari libur, paling masih pada tidur atau dolan (main) entah kemana, makanya sepi", pikirku

Sebentar lagi sholat zuhur, aku harus siap-siap untuk berangkat sholat.

"Pak, masjidnya dimana ya?", tanyaku pada bapak tetangga sebelah yang sedang duduk-duduk di teras rumahnya

"Ikuti aja jalan di depan itu, nanti di ujung jalan kelihatan kok menara masjidnya", jawab bapak tersebut

"Makasih ya pak. Saya anaknya pak Kusnan yang tinggal disitu (sambil menunjuk ke rumah kontrakan kami), baru sekarang bisa kesini, makanya masih bingung, hehehe", kataku sambil mengakrabkan diri

"Owalah pantes, ku tengok mukamu asing. Bapakmu dah pulang?", tanya bapak itu

"Katanya sih sore ini pak", jawabku

"Ibu kelen (kalian) kemananya rupanya?", tanya bapak itu penasaran

"Kerja di Malaysia pak, bantu-bantu uwak disana", kataku

"Wah... paten lah itu, banyak duitnya tuh disana", katanya sambil cengengesan

"Hehehe... enggak juga lah pak", aku sebenarnya agak males kalau udah membahas hal ini, gak tahu kenapa

"Yaudah lah ya pak, aku mau ke masjid dulu, dah mau adzan kayaknya", kataku sambil berpamitan

***

Sesampainya di masjid, ku lihat ada anak seusiaku sedang mempersiapkan sajadah.

"Maa syaa Allah... rajin juga anak ini", gumamku karena kagum

"Assalamu'alaykum...", aku mengucapkan salam kepadanya

"Wa'alaykumsalam...", jawabnya sambil membentangkan sajadah satu persatu

"Sendiri aja nih bang? Ku bantuin ya bang", kataku sambil membantunya membentangkan sajadah

"Biasalah ini. Kau anak mana?", katanya penasaran

"Oiya bang, aku Ronny anaknya pak Kusnan yang ngontrak di deket sawah itu", kataku sambil menyodorkan tangan

"Aku Sofyan", jawabnya

"Pak Kusnan yang pelaut itu ya? Berarti kau siapanya Jono?", tanyanya padaku

"Iya betul bang, awak abangnya Jono, hehehe", jawabku

"Owh yang sekolah di Percut itu ya?", tanyanya lagi

"Iya betul bang", jawabku

"Oke, nantilah kita lanjut ngobrolnya ya, udah masuk waktu zuhur nih kayaknya, mau adzan dulu aku", katanya

Aku membalasnya dengan mengacungkan jempolku saja.

***

Suara bang Sofyan lumayan merdu, aku sampai hanyut mendengarkan alunan adzannya yang indah. Luar biasa nih bang Sofyan...

Tak berapa lama kemudian, ku lihat mulai banyak yang berdatangan ke masjid. Luar biasanya, mayoritas adalah anak-anak muda seusiaku.

"Maa syaa Allah... luar biasa anak-anak muda disini rupanya", gumamku dalam hati. "Kalau begini, kayaknya aku bakal betah tinggal disini"

Selepas sholat, aku duduk di teras masjid sambil berdzikir. Sesaat kemudian, bang Sofyan dan beberapa jamaah sholat tadi mendatangiku.

"Assalamu'alaykum...", bang Sofyan memberikan salam sambil mengangkat tangan kanannya
"Wa'alaykumsalam bang...", aku menjawab salamnya

"Nih kenalin kawan-kawan kita disini. Ini Nico, Dedi, Iwan dan Ardi", bang Sofyan mengenalkan satu persatu orang yang bersamanya saat itu "

Aku Ronny bang", kataku sambil menyalami mereka satu persatu

Siang itu kami semua terlihat sangat akrab sekali, padahal baru aja ketemu. Kesan pertama yang saya tangkap, mereka ini orangnya mudah bergaul, juga kelihatan sangat akrab dan kompak. Tak terasa karena saking asyiknya ngobrol, waktu sholat ashar pun tiba, luar biasa!

***

Malam itu cuaca terlihat agak mendung, gelapnya awal seolah ingin menutupi cahaya indah yang dipancarkan oleh rembulan. Sesekali terdengar suara gemuruh di atas langit, memecah kesunyian malam yang bisu, menjadi pertanda awal akan datangnya hujan. Secara umum cuaca di luar sangat syahdu juga dingin karena banyaknya angin yang berhembus.

Di dalam rumah, aku mencoba berdiskusi dengan ayahku yang semenjak sholat maghrib sudah pulang. Aku ingin mengajak ayah, ibu juga adik-adikku untuk kembali kepada Allah, yakni dengan memperbanyak ibadah kepada-Nya.

"Ayah kapan berangkat lagi?", tanyaku memulai pembicaraan

"Mungkin besok atau lusa, kenapa rupanya?", jawab ayahku

"Kekmana di laut Yah? Lancar-lancar aja kan kerjaannya?", tanyaku lagi

"Ya gitu lah, namanya juga kerja pake otot. Apalagi ayah kan kerjaannya dua kali kan", jawab ayahku singkat

Ayahku di kapal selalu disuruh untuk nyambi jadi koki, jadi emang kerjaannya double. Kalau yang lain, kerjaannya cuma pasang dan narik pukat (yakni jaring besar untuk menangkap ikan) saja. Namun ayahku tidak, setelah pasang dan narik pukat, beliau harus ke dapur lagi untuk menyiapkan makan ABK (Anak Buah Kapal) yang lain, jadi memang kerjaan ayahku lebih berat.

"Ayah masih kuat rupanya kerja di laut?", tanyaku penasaran

"Lha mau kekmana lagi, nyari kerja di darat kan susah, cuma bisa kerja di laut aja Ayah", jawab ayahku.

"Ngomong-ngomong, ibu kau sering kirim uang gak? Uang sekolah kau kekmana? Masih ada gak uang kau?", ayahku mulai memberondongku dengan banyak pertanyaan

"Awak jarang hubungi ibu Yah. Awak kan kerja, jadi ayah gak usah kepikiran (khawatir) biaya sekolah awak. Walau gajinya gak gede, tapi kalau untuk makan awak sendiri aja, lebih dari cukup lah. Untuk ang sekolah awak kan gak bayar Yah, ditutupi beasiswa", jawabku

"Baguslah...", jawab ayahku datar

Ini salah satu kelemahan ayah dan juga ibuku, jarang sekali mereka mau memuji anak-anaknya. Bahkan untuk sekedar ngobrol aja seperti gak ada waktu. Walau demikian, aku sudah terbiasa dengan hal ini.

"Oh iya Yah, awak kok gak pernah lagi liat ayah sholat ya?", tanyaku mulai serius

"Kenapa rupanya?", jawab ayahku

"Ya kan sholat itu wajib Yah, gak boleh ditinggalin kan", jawabku

"Di laut mana sempat mikirin sholat, kerjaannya banyak nguras tenaga, tempatnya juga kan kotor, gak ada yang bersih", jawab ayahku berkilah

"Kalau di rumah kan gak sibuk Yah?", tanyaku lagi

"Capek kali Ayah. Hati ayah juga belum bersih", jawab ayahku

"Belum bersih kekmana maksudnya Yah?", tanyaku penasaran

"Belum tenang, masih banyak pikiran", jawabnya datar

Walau aku bingung dengan jawaban ayahku yang gak nyambung itu, tapi aku coba memahami bahwa memang ayahku coba mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahannya itu.

"Ayah cobalah untuk sholat lagi, doakan kami nih anak-anak Ayah biar bisa bahagia di dunia dan akhirat nanti", aku coba menjelaskan

"Kau pikir ayah kerja itu bukan untuk itu (membahagiakan anak-anaknya)? Ayah kerja nyari uang siang malam itu ya untuk kelen (kalian)!", jawab ayahku dengan suara sedikit meninggi

"Kalau Ayah gak sholat, nanti hati ayah gak tenang loh Yah. Kalau hati udah gak tenang, mau ngapa-ngapain (melakukan apapun) juga gak enak kan Yah?", jelasku singkat

"Kau jangan sok ngajari ayah lah! Nanti kalau ayah udah bersih hatinya, gak usah kau suruhpun sholatnya ayah", jawab ayahku dengan suara yang makin meninggi

"Jangan gitu lah Yah, kita kan gak tahu kapan kita mati...", aku coba menjelaskan

"Kau doain ayah cepet mati ya? Udah lah kau fokus aja ke sekolah kau, jangan mikir yang macem-macem dulu. Jangan sampe putus sekolah kau, biar kau gak kerja kayak ayah dan gak susah kayak ayah kau ini!!!", jawab ayahku mulai emosi

Karena kulihat diskusi kami udah gak kondusif dan malah memanas, aku putuskan untuk mengakhiri diskusi ini. Aku harus menerima kenyataan ini, ayahku masih sangat keras, dan ternyata dakwah pertamaku kepadanya gagal total...

***

Malam ini aku tidur agak lebih cepat dari biasanya. Sambil mendengarkan radio KISS FM dari walkman kesayangan, aku rebahkan badanku di atas kasur di kamar depan. Satu kebiasaan ini yang sangat sulit aku tinggalkan, selalu saja serasa ada yang kurang jika tidak mendengarkan musik. Bahkan pernah saya coba untuk tidak mendengarkan musik sebelum tidur, namun hasilnya mataku tidak bisa terpejam, walau rasa kantuk sangat kuat menyerang.

Tepat jam 04.00 aku terbangun. Selesai berdoa, aku langsung menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan persiapan sholat tahajud. Saat melewati ruang tengah, ku lihat ayahku sedang tertidur pulas di depan TV, ada segurat kelelahan yang tergambar sangat jelas dari wajahnya. Semoga Allah segera memberimu hidayah wahai ayah yang kucinta...

Di kamar belakang, terdengar suara musik masih bergema, "mungkin adik-adikku belum tidur", pikirku

Ternyata mereka bertiga sudah tertidur dengan pulas, dengan posisi yang tidak karuan. Aku perhatikan lagi wajah-wajah adikku, aku masih ingat betul bagaimana lucunya mereka saat masih kecil. Adikku Jono dan Joni ini adalah anak kembar yang tergolong identik, bahkan ayah ibu dan aku sendiri masih susah membedakan mana yang Jono dan mana yang Joni saat mereka masih berumur 1 sampai 2 tahunan. Belum lagi, jika Jono memakai baju warna merah, namun Joni malah dipakaikan baju warna kuning, pasti keduanya akan menangis, dan tangisannya baru diam jika mereka dipakaikan baju yang warnanya sama. Aku juga masih ingat saat ibu menggendong Jono ketika mau ke warung, tapi beberapa saat kemudian Joni menangis histeris, dan baru diam saat ibu juga menggendongnya ikut ke warung. Ya, ibuku harus sabar menggendong Jono dan Joni kecil saat itu. Kini Jono dan Joni sudah besar, bahkan tinggi badannya hampir sama denganku.

Tiba-tiba air mataku jatuh, betapa aku telah menjadi teladan yang buruk bagi adik-adikku ini, aku telah menjadi abang yang tidak memberikan contoh yang baik kepada mereka. Walah kami sering bertengkar, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku sangat mencintai adik-adikku ini, mungkin perasaan inilah yang diwariskan mendiang abangku pada 15 tahun yang lalu.

Aku segera mematikan vcd player yang masih menyala itu, lalu setelahnya aku segera menuju ke kamar mandi. Usai sholat tahajud, aku bersiap-siap berangkat ke masjid untuk mengerjakan sholat subuh. Aku lalu membangunkan ayahku agar mau ikut pergi ke masjid

"Yah bangun, udah mau subuh, ke masjid kita yuk!", kataku sambil menggoyang-goyangkan bahu ayahku

"Hmm... iya iya, kau duluan lah...", jawab ayahku dengan mata masih terpejam

"Udah mau subuh nih Yah, bangunlah", aku masih terus menggoyang-goyangkan badan ayahku untuk membangunkannya

"Kau ini ganggu aja pun!!! Capek kali ayah, kau sholat sendiri aja lah sana", jawab ayahku dengan suara yang sedikit meninggi

AstaghfiruLlah... kenapa ayahku seperti ini...

"Dik bangun... udah mau subuh...", aku lalu coba membangunkan adik-adikku

"Joni ngantuk kali lah bang!", jawab adikku Joni

Aku lalu menggoyang-goyangkan kaki adikku Jono, sambil menepuk-nepuk pahanya Joni

"Ayo bangun... udah mau subuh nih, sholat dulu lah sebentar, nanti tidur lagi", kataku untuk merayu mereka

Di luar dugaanku, ternyata Jono malah merespon ajakanku dengan emosi yang meledak

"Kau ini maunya apa sih bang hah?!?", teriak Jono

"Abang mau kelen (kalian) ikut ke masjid, sholat", jawabku dengan sabar

"Kalau mau sholat, sholat sendiri aja sana, ngapain ngajak-ngajak!!!", teriak Jono lagi

"Kelen itu udah wajib sholat, bukan anak kecil lagi, berdosa kalo kelen ninggalin sholat!", jawabku

"Halah jangan sok ceramah lah kau, kayak udah paten kali kau ini!!!", kata Jono dengan ketus

"Ngomong kau kok jadi gak enak gini, abang kan ngajak sholat kan baik-baik, kenapa kau jadi kekgini?", jawabku mulai terpancing emosi

"Kau ini dari dulu gak pernah mau ngalah jadi abang, terus mau menang sendiri. Dari semalem ku tengok, kau udah mancing-mancing duluan nyari gara-gara, macem udah paten kali kau rupanya hah?!?!", jawab Jono sambil sedikit menantang

"Udahlah... kelen ini berantem terus, udah gede pun. Gak ada lah malunya kelen ini!!!", Joni berusaha meredakan pertengkaran kami

"Eh Jono! Kau yang sopan sikit kalo ngomong, aku ini abang kau. Aku ngajak kelen sholat itu baik-baik, jadi jangan kau nantang-nantangin kek gitu (seperti itu)!!!", kataku dengan emosi yang mulai terpancing

"Halah... sok suci kau itu, padahal dulu bejat juganya kau!!!", teriak Jono

Bug...

Akhirnya ku lepaskan bogem (pukulan) tepat ke perutnya

"An**ng kau... tunggu disini kau ya!!!", kata Jono sambil berlalu ke dapur

"Udahlah bang... kau pun gak berubah, masih keras kali kau sama kami!!!", teriak Joni kepadaku

"Makanya kelen jangan mancing-mancinglah...", jawabku sambil menahan emosi

"Ayo sini kau, siapa yang duluan mati kita sekarang!!!", teriak Jono sambil tangannya memegang sebilah pisau yang diambilnya dari dapur

"Oh jadi kau mau serius, jangan nyesel kau ya!!!", jawabku sambil mataku nyari senjata yang bisa kupakai untuk ngelawan Jono

Saat itu aku sudah kalap, pikiran jernihku sudah hilang ditelan oleh amarah yang tengah membara. Aku sangat tidak terima jika adikku memakiku, apalagi sampai ia berani menantangku! Aku cari di seisi kamar senjata yang bisa kupakai, hanya ada sebatang sapu. Ini pun jadi...

Tiba-tiba Jono langsung menikamkan pisau yang dipegangnya ke arahku, ia menarget perutku. Secara reflek aku menghindari serangannya, sambil kupukulkan gagang sapu yang ku pegang ini ke tangannya.

Pisau yang dipegangnya pun terjatuh, lalu dengan sigap ia kembali mengambil lagi pisau tersebut

"An**ng kau, mati aja kau lah!!!", teriak Jono sambil meringis menahan sakit di tangannya

"Woy... sopan sikit kau kalo ngomong!!!", teriakku padanya Mendengar suara gaduh di kamar belakang, ayahku pun bangun, beliau langsung berlari ke belakang

 "WOY ANAK SETAAAN!!! NGAPAIN KELEN INI HAH?!?!", teriak ayahku seperti orang kesurupan

Bersambung in syaa Allah

Next : Godaan Yang Melalaikan

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Supported By:

Supported By:
warungkoski.com
Diberdayakan oleh Blogger.