Kamis, 28 Juli 2016

Seri 9 : Godaan Yang Melalaikan

"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali 'Imran : 135)

***

Saat itu aku sudah kalap, pikiran jernihku sudah hilang ditelan oleh amarah yang tengah membara. Aku sangat tidak terima jika adikku memakiku, apalagi sampai ia berani menantangku! Aku cari di seisi kamar senjata yang bisa kupakai, hanya ada sebatang sapu. Ini pun jadi...

Tiba-tiba Jono langsung menikamkan pisau yang dipegangnya ke arahku, ia menarget perutku. Secara reflek aku menghindari serangannya, sambil kupukulkan gagang sapu yang ku pegang ini ke tangannya.

Pisau yang dipegangnya pun terjatuh, lalu dengan sigap ia kembali mengambil lagi pisau tersebut.

"An**ng kau, mati aja kau lah!!!", teriak Jono sambil meringis menahan sakit di tangannya.

"Woy... sopan sikit kau kalo ngomong!!!", teriakku padanya.

Mendengar suara gaduh di kamar belakang, ayahku pun bangun, beliau langsung berlari ke belakang.

"WOY ANAK SETAAAN!!! NGAPAIN KELEN INI HAH?!?!", teriak ayahku seperti orang kesurupan.

"UDAH HEBAT KALI KELEN RUPANYA? UDAH TAHAN BACOK KELEN RUPANYA HAH?!?!", teriak ayahku dengan penuh luapan emosi.

"Dia nih Yah sok paten kali, bangunin orang tidur kayak mau ngajak orang berantem!!!", jawab Jono gak mau kalah.

"Aku kan bangunin kelen baik-baik, ngajak sholat bukan ngajak berantem", jawabku mencoba menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

"Kalo orang gak mau sholat, jangan kau paksa lah!!!", kata Jono masih membela dirinya.

"Trus kelen ini maunya apa hah? Mau bacok-bacokan sampe ada yang mati, gitu???", kata ayahku.

"Udahlah Bang, kau berangkat aja ke masjid sendiri, daripada jadi panjang urusannya", kata Joni mencoba untuk melerai kami.

Walau Jono dan Joni kembar identik, tapi soal kepribadian, mereka sepertinya memiliki karakter yang sangat berbeda. Adikku Joni lebih kalem, mirip ibuku. Sedangkan Jono sangat mudah terpancing emosinya, lebih mirip ayahku. Aku sendiri? Sepertinya gabungan dari ayah dan ibuku.

"Yaudahlah terserah kelen, diajak yang baik kok gak mau!!!", kataku sambil berlalu pergi meninggalkan mereka.

***

Pagi itu aku sangat marah, sangat sangat marah. Aku masih gak terima dengan perlakuan adikku yang udah berani melawan dan mengancamku. Aku gak tahu, siapa yang harus ku salahkan saat ini, adikku yang seperti itu, atau ayahku yang memang selalu membela dan memanjakan mereka? Atau malah semua ini karena salahku yang terlalu egois dan memaksakan semua kehendaku? Entahlah... aku bingung.

Semua perasaan bercampur aduk pagi itu, sedih, marah, kesal, gondok, semua bergejolak di dalam dada ini. Subuh yang syahdu itu pun tak mampu kurasakan indahnya. Suasana subuh yang tenang pagi itu, serasa hambar dan tak ada rasa yang bisa menenangkan jiwa. Aku masih sangat marah!!!

"Ada apa Ron? Kayaknya cemberut terus abang perhatikan", tanya bang Sofyan membuyarkan lamunanku setelah sholat subuh.

"Eh... gak apa-apa bang, aman terkendali kok", jawabku sedikit gugup.

"Owh yaudah... Jangan sungkan kalau mau cerita sama abang ya. Kau kapan balek (pulang)?", tanya bang Sofyan.

"Pagi ini kayaknya bang", jawabku datar.

"Makjang! Cepet kali", kata bang Sofyan sedikit heran.

"Hehe... iya nih bang, lagi banyak agenda juga di sekolah", aku mencoba meyakinkannya.

"Kapan lagi kau kesini Ron?", tanya bang Sofyan.

"Paling pas libur sekolah lah bang", jawabku.

"Ohya, kau kenapa harus kos sih? Kenapa gak tinggal disini aja?", tanya bang Sofyan penasaran.

"Kan jauh bang sekolahku, mahal diongkos lah kalo dari sini", jawabku.

"Kasian adik-adik kau itu, gak ada yang merhatiin orang itu (mereka). Ku tengok kau aja yang agak dewasa. Bapak kau pun jarang di rumah juga kan?", tanya bang Sofyan.

"Iya bang. Mau kekmana lagi lah bang, daripada banyak keluar biaya, tambah kasian awak sama ayah awak kan", jawabku singkat.

"Iya juga sih. Tapi sering-sering pulang lah kau ya, nanti abang ajak kau ikut kegiatan remaja masjid disini", kata bang Sofyan.

"In syaa Allah ku usahakan ya bang. Awak pun seneng kali bisa ketemu dan kenal sama orang kek abang, udah baik, sholeh pulak", jawabku.

"Hahaha... bisa aja kau bongaknya (bohong dalam rangka merayu) ya", kata bang Sofyan sambil tertawa lepas.

"Yaudahlah ya bang, awak mau siap-siap balek nih. Doakan awak biar bisa istiqomah ya bang", kataku sambil menyalami bang Sofyan.

"Ya sama-sama lah ya. Sampe ketemu lagi nanti ya", jawab bang Sofyan.

"Assalamu'alaykum bang...", kataku sambil melambaikan tangan

"Wa'alaykumsalam warohmatuLlahi wabarokatuh...", jawab bang Sofyan yang juga membalas lambaian tanganku.

***

Ku lihat rumah mulai sepi, aku pun masuk sambil mataku melihat ke sekeliling rumah, mencoba mencari kemana ayah dan adik-adiku. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara ayahku dari dalam kamar.

"Ronny sini kau dulu", panggil ayahku.

Aku pun mendatangi ayahku yang saat itu sedang duduk di kamar belakang sambil memberesi beberapa pakaian yang berserakan.

"Maafin Ronny Yah, awak kelepasan tadi pagi", kataku sambil menangis.

Jujur, aku tak bisa menutupi kesedihanku jika sudah berurusan dengan keluargaku, terutama adik-adikku. Harus ku akui memang, aku masih sangat egois, masih mau menang sendiri. Padahal adik-adikku juga sedang berada pada masa pencarian jati diri, masa dimana mereka juga gak mau terlalu dikekang, atau dipaksa harus mengikuti apa yang mereka tidak inginkan.

"Kau kan dah gede Ron, cobalah belajar ngalah sama adik-adikmu itu. Dari kecil kau yang paling dimanja ayah sama ibu kan? Sekarang coba kau bandingkan sama adik-adikmu?", kata ayahku.

Jleb...

Kata-kata ayahku ini bagai panah yang ditembakkan tepat mengenai ulu hatiku. Benar, dari kecil aku memang paling dimanjakan ayah juga ibuku, hampir semua yang aku minta, pasti dipenuhi. Mainan, baju baru, sepeda, dan lainnya.

Aku pun terdiam saat membandingkan kondisi adik-adikku. Mereka harus besar tanpa perhatian seorang ibu yang mencintai juga memanjakan mereka. Ibu kami lebih memilih untuk bekerja di Malaysia karena ingin mengumpulkan banyak harta, agar kami sekeluarga bisa lebih bahagia katanya. Namun faktanya tak seindah angan yang dirasa, keluargaku hancur, adik-adik jadi anak yang liar dan sulit terkendali.

"Iya Yah, awak tahu awak yang salah. Awak masih gak bisa ngontrol emosi Yah", kataku sambil menangis berderai air mata.

"Yaudah lah... cuma kau lah sekarang yang bisa ayah harapkan. Ayah minta tolong kali lah ya Ron, kau bantu ayah jaga adik-adikmu itu. Kasian orang itu, gak ada yang merhatiin", pinta ayahku.

"Iya Yah... in syaa Allah...", jawabku sambil mengusap air mata yang terus mengalir di pipi ini.

"Yah, awak mau balek ke kosan lah dulu ya. Daripada nanti kami ribut lagi disini", kataku meminta izin kepada ayahku.

"Cepet kali kau mau balek, baru semalem nyampe", jawab ayahku keheranan.

"Biar tenang dulu lah Yah disini. Awak pun kayaknya ada kegiatan di sekolah", kataku.

"Owh gitu, ya udahlah kalo kek gitu. Masih ada uang kau?", tanya ayahku.

"Masih kok Yah. Ayah gak usah mikirin uang untuk awak lah, untuk adik-adik aja uangnya. Awak kan udah kerja sekarang", kataku.

"Betul nih? Kau ambillah ini untuk uang jajan kau ya", kata ayahku sambil mengambir empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.

"Yaudah lah, makasih banyak ya Yah", kataku sambil mencium tangan ayahku.

Kebiasaan mencium tangan ini memang selalu ditekankan oleh ayah dan ibuku. Bukan hanya saat berangkat sekolah, saat pulang main atau saat menerima uang atau hadiah dari ayah dan ibu pun saya dan adik-adik dibiasakan untuk selalu mencium tangan mereka berdua. Setidaknya inilah satu kenangan dan kebiasaan baik yang masih terus kami lakukan sampai hari ini.

***

Setelah berpamitan dengan ayah, aku pun pergi meninggalkan rumah pagi itu.

"Mampir ke warnet dulu lah", pikirku.

Karena saat itu handphone masih menjadi barang yang sangat langka, jadi internet masih menjadi primadona bagiku. Kalau di sekolahku, internetnya gratis, jadi hampir setiap hari pasti ku sempatkan untuk berselancar di internet. Saat itu aplikasi MiRC dan Friendster (FS) masih memonopoli media sosial yang belum banyak memiliki saingan. MiRC adalah aplikasi untuk chatting, seperti Whatsapp dan yang semisalnya, sedangkan Friendster adalah jejaring sosial yang menjadi "kakek moyang"nya Facebook hari ini.

Setelah berjalan dan mencari-cari, akhirnya ketemu juga warnet yang sudah buka pagi itu. Aku langsung masuk dan lalu mencari bilik yang tidak ada penghuninya.

Setelah login ke MiRC, aku join ke beberapa room yang biasa ku kunjungi. Karena masih sepi yang online, aku pun sambil mengecek email.

"Wah ada 2 email baru nih", kataku sambil mengklik email tersebut.

Email pertama yang kubuka adalah dari Rasyid, salah satu yang sangat akrab denganku, teman satu sekolah sekaligus satu grup band. Saat itu kami punya grup band yang lumayan eksis, sering ikut festival, beberapa kali diundang menjadi bintang tamu pada event-event tertentu, juga sesekali manggung di beberapa cafe untuk menghibur juga mencari recehan. Rasyid sendiri adalah drummer kami yang paling berbakat, ia sangat mengidolakan Eno si drummer Netral yang sangat enerjik. Jefry gitaris kami yang rambutnya keriting gondrong itu, ngefans banget dengan Tommy Maran (gitaris Boomerang) dan Eet Sjahranie (gitaris Edane), tapi menurutku gayanya lebih mirip dengan Slash-nya Gun's n Roses, terutama rambutnya. Sedangkan aku dipercaya menjadi vocalis sekaligus memegang gitar rhythm. Kalau ditanya siapa idolaku, kayaknya aku mengadopsi gaya dan style-nya Chester (vocalis Linkkin Park) dan Billie Green Day. Ohya kelupaan, ada satu lagi anggota kami, si kalem Andre yang lebih senang pegang Bass, idolanya adalah Krist Novoselic basisnya Nirvana yang fenomenal.

"Kau dimana coy? Tadi kami ke kosanmu.
Kau gak lupa kan tanggal 27 besok kita ikut festival? Balas ya kami tunggu", begitu isi email yang dikirim Rasyid kepadaku.

Dengan sigap segera ku balas email tersebut, "Sorry coy gak bilang-bilang, aku mudik semalem. Ini aku lagi di jalan mau balek (pulang) kesitu. Nanti malam ngumpul di tempat Jefry kita ya", tulisku membalas email yang dikirim Rasyid.

Duh, hampir aja aku lupa festival itu.
Dari dulu kami berempat memang hampir tidak pernah absen kalau ada festival band, apalagi festival besok lusa ini cukup bonafit, sponsornya aja Djarum dan Nokia, hadiahnya juga lumayan gede dan sangat menggiurkan, gak mungkin kami sia-siakan kesempatan emas seperti ini.

"Hah? Dilla?", aku kaget ketika membaca email kedua yang belum terbaca. Mataku terpaku saat melihat sebuah alamat email yang dulu tak asing bagiku, dilla_nst@plasa.com.

Aduh, kenapa Dilla harus datang lagi saat ini, aku pikir dia sudah lupa denganku, hampir setahun kami tidak pernah lagi ketemu atau berkirim email. Aku sih sadar diri, mungkin Dilla sekarang juga sudah lupa denganku.

Aku coba membaca lagi alamat email tersebut, barangkali aku keliru. Benar ternyata alamat emailnya dilla_nst@plasa.com, ini memang Dilla. Dengan ragu aku pun penasaran untuk membaca pesannya, barangkali ada kabar penting.

"Hai Ron, apa kabarnya sekarang?
Lama banget ya gak kirim kabar, udah punya pacar baru ya? Atau memang udah lupa dan gak mau ketemu aku lagi?", tulisnya di awal pesan.

"Mana mungkin aku bisa melupakanmu Dilla, paling juga kamu yang lupa denganku", gumamku dalam hati.

"Eh Ron, besok dateng loh ya di ulang tahunku, gak lupa kan tanggalnya?
Plis banget ya dateng, aku gak akan memaafkanmu kalo sampe gak dateng loh, awas loh ya!!!", tulis Dilla di akhir pesannya.

"Ah... kenapa Dilla harus hadir lagi Yaa Allah? Aku sayang banget sama dia, tapi aku gak mau balik lagi bermaksiat dan membuka pintu setan Yaa Allah... Apa yang harus ku lakukan Yaa Allah???", jeritku dalam hati.

Dengan sedikit ragu, aku pun membalas email Dilla.

"Wah udah lama banget kita gak ketemu ya Dil, masih suka sate kerang gak? Hahaha...", tulisku memulai email.

"Aku sehat-sehat Dil, semoga dirimu juga sehat terus ya. Eh ngomong-ngomong, dirimu belum punya pacar baru kah? Kalo aku sih kayaknya setia nunggu kamu aja deh, lagian di SMK isinya kan homo sapiens semua, ahahaha...", aku melanjutkan pesanku.

"Sekarang dirimu masih suka ngancem juga ya, aku jadi pengen liat kek gimana sih ekspresi wajahmu sekarang waktu ngancem ini, hihihi... Aku usahakan dateng deh Dil, tunggu aku ya, wkwkwkwk", tulisku untuk mengakhiri pesan.

Send... email terkirim.

***

Dilla...

Tiba-tiba nama ini kembali hadir dalam anganku. Bayangan dan kenangan bersamanya masih terekam sangat kuat di dalam benakku. Bahkan tawa dan candanya terkadang masih terus menggema di dalam setiap sunyi dan sendiriku.

Aku terduduk dan termenung sejenak, seolah terpampang kembali di hadapanku rekaman-rekaman episode indah dan bahagia saat bersamanya...

Bersambung in syaa Allah

Next : Godaan Yang Melalaikan (2)

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Supported By:

Supported By:
warungkoski.com
Diberdayakan oleh Blogger.